Header Ads Widget

Ticker

6/recent/ticker-posts

Future Secret - Chapter 3

 Future Secrets #Ilookwebseries

Chapter 3


 

Setelah ujian selesai, hal yang paling membuatku takut adalah nilai yang akan keluar di portal akademik. Semoga hasilnya akan baik-baik saja. Selama liburan aku hanya di rumah saja, sebenarnya aku ingin mengikuti semester pendek kayak fakultas teknik tapi di jurusanku tidak ada di semeter ini. tapi beruntung ada kegiatan yang akan diadakan selama liburan yaitu kegiatan di himpunan mahasiswa. Meski aku hanya panitia biasa tapi aku setidaknya bisa mengisi waktuku selama libur.

Aku menunggu Yulia di depan rumah karena hari ini ia akan menjemputku karena kami berdua masuk dalam kepanitiaan acara himpunan mahasiswa.

Saat yulia tiba di depan rumahku, anehnya terdengar seperti banyak motor. Cepat-cepat aku menghampiri Yulia, ternyata bukan Yulia saja melainkan beberapa temanku. Aku tidak dekat dengan mereka tapi mereka seolah membuka pintu untuk aku bergabung ke dalamnya.

“Berasa tuan putri lo,” ledek Wawan dari atas motornya.

“Yang nyuruh lo ke rumah gue nggak ada,” balasku sambil cengiran.

Kami bersama-sama menuju kampus. Aku melirik ke semua motor yang berada di belakangku, ternyata di sana ada Wawan, Aldi dan di paling belakang ada Arip bersama Putri.  Kami semua berjumlah enam orang dengan tiga motor.

Sesampai di kampus, Wawan mengajak kami untuk duduk di bawah pohon padahal rapat sedang berlangsung. Aku memandang mereka yang dengan patuh mengikuti keinginan Wawan.

“Kenapa sih malah ke sini ?” tanyaku ke arah Yulia dengan suara cukup keras.

“Malas masuk ke sana, kena denda. Jadi palangan nggak datang,” jawab Wawan dengan enteng.

“Eh? Seriusan nih?” tanyaku pada Yulia.

“Memang benar sih yang diomongin Wawan,” kekeh Putri dari belakangku.

Aku sedikit terkejut karena aku berniat dari rumah ke kampus untuk ikut rapat acara yang akan diadakan oleh himpunan mahasiswa, tapi setelah sampai di kampus malah aku hanya duduk di bawah pohon seolah ingin menikmati angin yang begitu sejuk dari sini.

“Yaudah pulang yuk,” ajakku sambil menarik Yulia. Namun Yulia menahan tanganku.

“Bentar lagi deh,” jawab Yulia.

“Lo nggak bosan di rumah terus,” celetuk Aldi.

“Nanti kita dimarah sama kakaknya gimana?” tanyaku dengan gelisah.

“Santai Gres,” kekeh Arip. Aku melirik sekelilingku, mereka sama sekali tidak merasa panik. Aku pun berpikir demikian. Kalau pun nanti dimarah, aku ada teman. Mereka menganggap kalau kampus salah satu tempat melepas penat di rumah.

Akhirnya aku berakhir di sebuah kafe yang tidak jauh dari kampus, rasa bersalah tadi hilang seketika saat kami berenam asyik memainkan uno stacko sambil diiringi dengan minuman yang memenuhi meja.

Suara tawa dari kami menggambar keseruan yang terjadi hari ini. Di sini sedikit ramai, beberapa orang melirik ke arah kami karena terlalu berisik. Tapi teman-temanku tidak perduli seolah kafe ini milik mereka.

***

Satu per satu nilai mulai keluar. Aku kecewa dengan nilaiku yang dibawa ekspektasi. Nilaiku hanya lebih sedikit untuk mengambil 24 sks di semester selanjutnya. Aku merasa gagal mendapatkan nilai yang pas-pasan. Aku sibuk menyalahkan diriku sendiri yang tidak belajar dengan keras lagi. Apa yang aku lakukan selama ini.

Yulia datang ke rumahku saat aku tengah kesal pada diriku. Dia datang keadaan yang sama kecewa denganku. Dia menceritakan semua hal yang dia lakukan untuk mendapatkan nilai yang bagus. Aku tidak bisa menghibur karena apa yang dirasakannya juga sama seperti yang aku rasakan.

“Berasa bersalah banget gue,” curhat Yulia di dalam kamarku.

“Lo pikir gue nggak,” jawabku.

“Apa ya yang salah sama kita? Kita udah ngelakukan yang baik dari tugas, bahkan kuis,” keluh Yulia.

“Kurang beruntung mungkin,” jawabku.

“Kira-kira masa depan kita nanti gimana ya dengan nilai yang kita dapatkan,” ucap Yulia.

“Nggak tau. Masih belum kelihatan apa yang terjadi di masa depan dengan nilai segitu,” kekehku.

Perlahan kesedihan itu berkurang, meski sesekali pikiran itu mencoba merasuki diriku lagi. Merasa bersalah dengan diri sendiri, tentu saja hal yang pertama aku rasakan. Aku dan Yulia memilih menghabiskan waktu untuk sesaat melupakan kesedihan kami, dengan memasakan makanan yang bahannya tersedia di kulkasku.

“Gue balik ya,” pamit Yulia saat kami sudah membereskan piring-piring yang kami kotorkan tadi.

“Iya sih, udah hampir malam,” kekehku samnil melirik ke arah jendela.

“Gres, kita harus berusaha lagi semester depan,” ucap Yulia dengan yakin. Ternyata Yulia juga mulai mengikhlaskan. Sebenarnya lebih baik seperti itu dari pada terus-terus menyalahkan diri sendiri yang ujungnya tidak akan mampu mengubah nilai itu.

***

Aku sedang bersiap-siap untuk pergi bersama Kak Fino. Dia memintaku untuk menemaninya ke perpustakaan universitas. Meski harus bertemu dengan buku disaat libur seperti ini, tapi aku tetap senang. Karena bertemu dengan Kak Fino sedikit sulit akhir-akhir ini. Apalagi sekarang skripsi menjadi prioritas utamanya.

Tapi saat aku tiba di perpustakaan bukan hanya aku dan Kak Fino saja melainkan ada seorang perempuan yang sedang menunggu kedatangan Kak Fino. Dia seperti terkejut ketika aku berada di belakang Kak Fino.

“Ngapain kita duduk di situ sih?” tanyaku sambil berbisik ke arah Kak F    ino.

“Dia teman aku,” jawabnya. Kalau tau aku di sini juga bersama teman Kak Fino lebih baik aku di rumah saja. “Ada beberapa yang aku nggak ngerti dan harus belajar sama dia.”

“Hai,” sapa cewek itu dengan manis.

“Hai,” jawabku dengan malas.

“Nama dia Mbak Tari,” ucap Kak Fino ke arahku lalu aku mengangguk sambil menarik kursi yang akan aku duduki.

“Oh iya, ini gimana buatnya ?” tanya Kak Fino ke arah Mbak Tari yang berada di depannya saat ini, sambil menunjukkan kertas proposalnya. Mbak Tari mulai menuliskan sesuatu di kertas Kak Fino. yang kulakukan hanya menonton mereka yang sedaang berdiskusi. Aku sudah menghabiskan waktuku dengan mencari novel di perpustakaan, memainkan ponsel bahkan mendengar lagu namun Kak Fino dan Mbak Tari belum selesai berdiskusi. Sesekali mereka tertawa berdua. Padahal aku ingin menceritakan  tentang nilaiku pada Kak Fino hari ini.

Aku mengirim pesan pada Yulia. “Dimana?”

“Nih lagi sama Putri, ada Wawan sama Arip juga,” balas Yulia. Tadi sebelum pergi, Yulia sudah mengajakku tapi aku menolak karena aku akan pergi bersama Kak Fino.

Aku melirik lagi ke arah Kak Fino dan Mbak Tari, mereka seakan asyik dengan dunia mereka sendiri.

“Kak, aku pergi sama teman dulu ya,” ucapku memotong pembicaraan mereka yang tidak aku mngerti.

“Pergi ke mana? Sama siapa?” tanya dengan kening yang berkerut.

“Sama Yulia,” jawabku.

“Tapi setelah ini Kakak mau minta temani ke sesuatu tempat,” cegahnya. Aku tidak penasaran dia akan mengajakku ke mana karena aku sangat bosan jika harus di sana beberapa saat lagi.

“Lain kali aja, masih ada hari besok. Aku juga masih lama liburnya,” jawabku sambil berdiri. Aku menoleh ke belakang sebentar, Kak Fino tidak berusaha menahanku.

Aku menunggu jemputan Yulia di depan perpustakaan, tapi yang jemput bukan Yulia melainkan Arip. Berruntungnya Kak Fino masih berada di dalam perpustakaan, jadi dia tidak melihat Arip yang datang.

“Yulia mager tadi,” ucap Arip yang menyadari kebigunganku yang melihat dia yang datang bukan Yulia.

“Oh iya, dia kalau udah nyaman sama tempatnya nggak mau bergerak,” kekehku.

Aku naik di atas motor Arip, dan berharap  Kak Fino tidak melihat sama sekali. Pilihanku tetap untuk pergi dari perpustakaan. Setidaknya Yulia dapat membuatku bahagia, ditambah lagi di sana ada Wawan, Arip, dan, Aldi.

***

Posting Komentar

0 Komentar